A Romantic Story About Serena (12 page)

BOOK: A Romantic Story About Serena
7.71Mb size Format: txt, pdf, ePub

Damian
mengacak rambutnya bingung,

"Aku
juga tidak menyangka bisa jadi begitu terobsesi kepadanya, kau tahu.....rasanya
tidak ingin berhenti, aku ingin terus menerus menyentuhnya, ingin terus menerus
merasakannya....jadi tiap malam aku..aku.."

"Kau
bermaksud bilang tiap malam kau hampir tidak pernah membiarkannya tidur?",
kali ini alis Freddy berkerut.

Damian
menghindari tatapan Freddy,

"Aku
baru beberapa hari bersamanya, aku masih belum merasa puas", gumamnya tak
Jelas.

Freddy
menarik napas dalam,

"Damian,
aku tahu kau terbiasa dengan wanita dewasa yang berpengalaman, yang mungkin
akan melayani marathon seksmu dengan senang hati kalau kau mau, tapi ini,
seorang perawan, seorang gadis kecil tak berpengalaman, seharusnya kau lebih
menahan dirimu"

"Aku
tahu!", Damian menyela dengan keras, frustasi kepada dirinya sendiri,
"tapi...ah, kau tidak tahu rasanya Freddy..."

"Betul
aku tidak tahu, karena itulah aku tidak mengerti, kalau memang nafsumu sebegitu
besarnya, kenapa kau tidak mencari wanita lain sebagai pelampiasan? Wanita lain
yang lebih bisa mengimbangimu? Jadi kau tetap bisa menjaga kondisi tubuh gadis
itu, tubuh yang kau beli seharga Tiga ratus juta", Freddy mengingatkannya.

"Ah
ya...ya, bisakah kau jangan menyebutnya sebagai 'gadis itu atau 'tubuh itu..?
Dia punya nama Freddy, namanya Serena"

"Baiklah,
Serena ini, kalau kau tidak mau menyakitinya, seharusnya kau mencari wanita
lain untuk mengimbangimu"

Damian
mengernyit, wanita lain? Sepertinya itu ide yang bagus, kalau hasratnya membuat
tubuh Serena lemah, dia seharusnya menyalurkannya kepada wanita lain, tapi.
Damian tidak bisa membayangkan wanita manapun, dia mau Serena, hanya Serena
yang membuat tubuhnya berhasrat sampai seperti ini,

"Tidak
bisa kalau bukan dia Freddy, kau tahu aku bukan maniak seks, bercinta selama
ini menjadi kebutuhan nomor duaku, bahkan aku selalu mementingkan pekerjaan
dibandingkan janji temuku dengan wanita-wanita itu, tapi Serena... Dia seperti
ada magnet dalam tubuhnya yang mengubahku menjadi seperti ini"

Freddy
menarik napas,

"Kalau
begitu, kau harus belajar menahan diri Damian dan lebih peka, kalau dia
terlihat lelah, jangan memaksakan kehendakmu"

*********

"Apa
yang kau lakukan padanya?", 

gumam
dokter Vanesa, janda berusia 33 tahun yang sangat cantik, yang kebetulan adalah
sahabat Damian juga, ketika melihat Damian masuk ke ruangan klinik itu, suasana
sudah sepi dan dokter Vanesa sudah mengusir rekan-rekan kerja Serena dari
klinik itu,

Damian
mengerutkan keningnya mendengar pertanyaan Vanesa,

"Kenapa
kau langsung menuduhku seperti itu?", gumamnya pura-pura
tersinggung.Vanesa melirik ke arah Serena yang tertidur pulas, tadi Serena
sempat bangun dan Vanesa sengaja memberinya obat yang membuatnya mengantuk agar
gadis itu bisa beristirahat,

"Seorang
staff rendahan pingsan dan beberapa waktu kemudian sang CEO perusahaan yang
tidak pernah menginjakkan kakinya di klinik ini tiba-tiba datang? Kau pikir ini
kebetulan?"

Damian
tersenyum miring,

"Setidaknya
kecerdasanmu tidak berubah Vanesa",

Vanesa
terkekeh pelan,

"Tentu
saja aku sama sekali tidak menduga kalau gadis itu ada hubungannya denganmu,
waktu memeriksa tubuhnya aku melihat bekas-bekas ciuman dari leher sampai ke
perut, lalu aku berfikir, lelaki brengsek mana yang membiarkannya sampai
pingsan kelelahan begitu",

 Vanesa
mengangkat alisnya, " Dan tiba-tiba saja lelaki brengsek itu muncul"

Damian mengerutkan
alisnya lalu terkekeh,

"Sayangnya
kata-kata tajammu juga tidak berubah, yah aku memang lelaki brengsek itu",
Damian mengangkat bahu, lalu menatap ke arah Serena yang terbaring pucat di
ranjang klinik itu, " bagaimana kondisinya?", wajahnya berubah serius

Vanesa
menarik napas,

"Aku
tak mau bertanya apapun itu kehidupan pribadimu", Vanesa menatap tajam ke
arah Damian, " gadis itu kelelahan, kurang tidur dan tekanan darahnya
rendah sekali, kondisi tubuhnya lemah dan karena itu dia demam, sepertinya
gejala flu"

Damian
mengernyitkan allisnya, menerima tatapan tajam Vanesa

"Baik,
baik semua salahku, Freddy sudah mengatakannya padaku, sekarang bisakah kau
meninggalkan kami sendirian sebentar?"

Vanesa
melirik ke arah pintu,

"Freddy
ada di luar? Bagaimana jika nanti ada karyawan yang kebetulan ke klinik?"

"Itulah
gunanya Freddy di luar, tapi kalau sampai terjadipun aku akan bilang kalau aku
sedang mencarimu meminta resep"

Vanesa
mengangguk,

"Aku
akan bergabung dengan Freddy di luar, jangan berbuat macam-macam ya!"

Damian
tersenyum mendengar ancaman Vanesa. Wanita itu adalah istri dari sahabatnya,
dan merekapun akhirnya bersahabat. Sayangnya suami Vanesa meninggal dalam
kecelakaan tragis di jalan tol beberapa tahun lalu, sejak itu Vanesa
membentengi diri dengan mulut tajam dan sifatnya yang ketus, padahal sebenarnya
dia adalah wanita penyayang, sikap ketusnya itu tidak mempan pada Damian dan
Freddy, Damian melirik keluar, seandainya saja Vanesa bisa melirik Freddy,
bagus sekali kalau sahabat-sahabatnya itu bersatu.

Dengan
langkah pelan Damian melangkah ke tepi ranjang berdiri di samping Serena yang
tertidur pulas,

Benar,
wajahnya pucat sekali, kenapa Damian tidak menyadarinya dari semalam?

Tangan
Damian menyentuh dahi Serena, gadis ini demam! Badannya panas sekali...

"Jadi
kau ingin mengantar pulang Serena?", 

Vanesa
tiba-tiba bersuara di pintu dengan agak keras, sengaja memberi peringatan
kepada Damian.

Damian
langsung menjauh dan berdiri di depan meja kerja Vanesa.

Pintu
terbuka dan salah seorang laki-laki, rekan kerja Serena tapi Damian lupa
namanya, masuk membawa tas Serena yang tertinggal di ruangannya, disusul oleh
Vanesa dan Freddy di belakangnya.

Rekan
kerja Serena itu tampak sangat kaget mengetahui Damian, CEO perusahaan yang
hanya pernah dia lihat dari foto, sekarang berdiri langsung di depannya,
wajahnya langsung pucat pasi,

"Aaaa...aaandaa....",
lelaki itu bahkan tak sanggup berkata-kata karena kagetnya, Damian menatap
sekilas seolah tak peduli,

"Ya,
Saya memang benar Damian", dipasangnya ekspresi paling dingin, 

"Saya
ada urusan dengan dokter Vanesa, tapi silahkan selesaikan urusan anda dulu,
saya bisa menunggu"

"Alex
hanya ingin menjemput rekannya yang pingsan dan mengantarkannya pulang
Damian", 

Freddy
menyela di belakang Vanesa tapi matanya menatap Damian penuh peringatan.

Pulang?
Damian mengernyit, tapi Serena kan sekarang tinggal di apartemen
mewah yang dia belikan, tidak mungkin dia membiarkan Alex mengantar Serena
pulang!

"Saa
...saya hanya sebentar, saya akan mengangkat Serena dan mengantar pulang,
kebetulan saya ada janji temu dengan kilen di dekat tempat kostnya jadi
sekalian, mohon maaf, silahkan dokter jika ada urusan dengan Mr. Damian"

Alex
cepat-cepat membalikkan tubuh tak tahan menghadapi tatapan tajam Damian, memang
benar gosip yang beredar, Mr. Damian CEO mereka ini terkenal sangat dingin dan
tidak berperasaan, bahkan aslinya lebih menakutkan, wajahnya sangat rupawan
tapi aura membunuh disekelilingnya sangat kental.

Damian
masih terpaku di situ, tempat kost? Si bodoh ini pasti masih mengira Serena
masih tinggal di tempat kostnya yang lama. Dan.. Apa yang dilakukan lelaki itu
??? Dia menyentuh tubuh Serena ??!

Damian
hampir menyeberangi ruangan untuk menepiskan tangan Alex yang mencoba
menggendong Serena ketika Suara Vanesa menyela dengan cepat, menyadari gawatnya
situasi yang terjadi,

"Jangan
Alex", perintahnya membuat Alex meletakkan tubuh Serena kembali dan
menatap Vanesa penuh tanda tanya,

"aku
memberi obat tidur untuknya supaya dia bisa beristirahat, kalau kau pulangkan
dia ke kostnya dalam  kondisi seperti itu, siapa yang akan menjaganya
nanti? Lebih baik biarkan dia beristirahat dan tidur di sini dulu"

Alex
menyadari kebenaran perkataan dokter Vanesa dan cepat-cepat menyetujuinya.
Lagipula dia ingin cepat-cepat keluar dari ruangan ini.

Sang CEO
hanya berdiri membatu di sudut ruangan tapi tatapan matanya mengerikan, seperti
akan membunuhnya dengan tangan kosong!

Ah,
mungkin dia hanya sedang tidak enak badan, Alex berusaha menenangkan dirinya,
lalu mengangguk,

"Baiklah
saya akan meninggalkannya dulu, nanti kalau dia sadar saya akan menjemputnya
lagi" gumamnya sambil meletakkan tas Serena di kursi dan hampir melonjak
kaget ketika Damian berseru dalam bahasa Jerman yang tidak dimengertinya,

Vanesa
agak menahan  senyum karena dia tahu arti kata-kata Damian, 'Langkahi
dulu mayatku', itu artinya

"Tidak
usah Alex, biar aku yang mengantarnya sekalian pulang nanti"

Alex
mengangguk, sebenarnya dia ingin membantah, dia ingin mengantar Serena,
sebenarnya sejak dulu dia sudah suka pada Serena tetapi belum berani
mengungkapkannya karena Serena terlihat begitu tertutup, kejadian ini
dianggapnya sebagai kesempatan mendekati Serena, tapi mengingat aura tak nyaman
di ruangan ini, Alex memutuskan menyerah, mungkin lain kali, putusnya

Lalu
melangkah ke luar setelah mengangguk pada semuanya, tak bisa menahan untuk
mempercepat langkahnya keluar dari situ.

"Aku
yang akan membawanya pulang", Damian bergumam memecah keheningan.

"Kau
ada rapat satu jam lagi Damian", sela Freddy tajam.

"Batalkan,
mereka akan menyesuaikan jadwalnya denganku"

Vanesa
dan Freddy hanya bisa berpandangan, lalu mengangkat bahu.

********

Ketika
Serena membuka mata dia sudah ada di ranjangnya, mengenakan salah satu piyama
sutra hitam milik Damian, lelaki itu sedang duduk di ranjang di sebelahnya,bersila
dengan menghadap notebooknya, wajahnya serius sekali. Serena merasa pusingnya
sudah hilang, tapi rasa nyeri di tubuhnya belum hilang juga, sepertinya dia
masih demam.

Seolah
merasakan gerakan Serena, Damian menoleh, dan tersenyum

"Tadi
aku mencari piyama untukmu, ternyata kau tak punya piyama ataupun gaun tidur
ya? Aku tidak tahu sebelumnya karena aku selalu menelanjangimu sebelum
tidur"

Wajah
Serena memerah, bisa bisanya Damian memilih kata-kata itu sebagai kalimat
sapaan pembukanya.

"Kenapa
aku tiba-tiba sudah di rumah? Jam berapa ini?"

Damian
mengangkat alisnya,

"Kau
tidak tahu? Tadi pagi kau pingsan lalu dokter Vanesa menyuntikmu dengan obat
yang membuatmu tidur, tapi aku harus mengajukan komplain karena sepertinya
dosisnya terlalu besar, kau tertidur hampir sepuluh jam....sekarang sudah jam
delapan malam"

Serena
terperangah,

"Jam
delapan malam?"

Damian
tersenyum,

"Besok-besok
kalau kau merasa tidak enak badan jangan memaksakan diri untuk masuk, kau
sangat merepotkanku, aku terpaksa pulang setengah hari untuk menjagamu"

Wajah
Serena memucat, dia telah mengganggu kesibukan Damian! Padahal lelaki itu punya
jadwal yang sangat padat dan terpaksa meninggalkannya hanya gara-gara dia
pingsan.

"Ma...maafkan
aku...", suara Serena terdengar lemah, penuh penyesalan.

Damian
menoleh mendengar nada suara Serena, lalu menutup notebooknya dan meletakkannya
di meja samping ranjang,

"Aku
tidak memarahimu, lagipula sudah lama aku tidak mengambil cuti", dengan
lembut Damian meletakkan tangannya di dahi Serena, "sudah mendingan, tadi
kau panas sekali tahu, aku sampai mengkompresmu dengan air es"

Serena
memejamkan matanya merasakan tangan Damian yang sejuk di dahinya, kenapa lelaki
ini begitu lembut dan penuh perhatian? Sudah lama sekali rasanya sejak ada yang
memperhatikan dirinya. Setelah kedua orang tuanya meninggal, Serena selalu
berjuang sendirian, tidak pernah sama sekali mengijinkan dirinya menjadi lemah.
Sekarang, perhatian yang begitu lembut dari Damian entah kenapa membuat dadanya
sesak,

"Kau
sudah bisa minum obatnya? Dokter Vanesa membawakan obat untuk kau minum, tunggu
sebentar", 

Damian
bangkit dari ranjang dan melangkah keluar kamar,tak lama kemudian dia kembali
membawa nampan, meletakkannya di meja samping ranjang dan membantu Serena
duduk,

"Kau
harus makan dulu sebelum minum obat",

Aroma
kuah yang sangat menggoda itu benar benar membuat air liur menetes, Serena
menoleh ke atas nampan yang diletakkan di pangkuannya, semangkuk sup jagung dan
daging yang masih panas dengan aroma yang sangat enak,

"Itu
bukan bubur ayam, jadi kuharap kau tidak memuntahkannya", ada nada geli
dalam suara Damian,

Mau tak
mau Serena tersenyum karena ternyata Damian masih teringat percakapan mereka
kemarin.

Other books

First Class Killing by Lynne Heitman
Know When to Run by Karla Williams
Bless the Child by Cathy Cash Spellman