A Romantic Story About Serena (14 page)

BOOK: A Romantic Story About Serena
5.13Mb size Format: txt, pdf, ePub

Sebelum
Serena sempat menjawab, Damian, yang entah kapan sudah berada di ruangan itu
berdehem keras, dengan sengaja.

"Vanessa,
bukannya kau harus segera membawa sample darah itu ke lab?", gumam Damian
datar, tapi matanya memperingatkan.

Vanessa
tersenyum miring, lalu mengangkat bahu dan tersenyum pada Serena,

"Sepertinya
dokter sudah diusir, obatnya ada di meja Damian beserta cara pakai,
kutinggalkan resep kalau2 obatnya habis, besok aku akan mengabarimu tentang
hasil labnya".

Vanessa
mengangguk pada Serena mengangkat tasnya dan berjalan pergi, pada saat
berhadapan dengan Damian di pintu keluar, dia menatap tajam,

"Ingat
Damian, dia harus istirahat kalau mau sembuh", gumamnya tegas sebelum
melangkah pergi,

Damian
menatap pintu yang tertutup di belakangnya lalu mengangkat bahu dan tersenyum
pada Serena,

"Kadang-kadang
aku merasa dia masih membenciku sampai sekarang"

Serena
tersenyum lemah pada Damian yang menuang segelas air dari teko di meja samping
ranjang,

"Apakah
kau haus ? ayo, aku akan membantumu minum "

Dengan
cekatan Damian membantu Serena duduk, beberapa kali selimut melorot dari dada
Serena, hingga Serena harus mencengkeramnya, tapi Damian mengabaikannya, sama
sekali tidak melirik ketelanjangan Serena, rupanya laki-laki itu bertekad untuk
membiarkan Serena beristirahat.

Setelah
membantunya minum, Damian menyentuh dahi Serena dengan lembut, dan mengernyit
karena badannya sangat panas,

"Maaf",
Serena tiba-tiba merasa bersalah, dia jarang sakit, tapi kali ini sekalinya
sakit sangat parah sehingga harus bergantung pada belas kasihan Damian,

Wajah
Damian melembut,

"Minta
maaf karena sakit ?", Damian menarik napas, "kau benar-benar gadis
aneh", Damian tersenyum miris, "Oke, obat itu akan membuatmu
mengantuk, aku akan memesan makanan, jadi begitu bangun kau bisa makan"

Serena
mengernyit mendengar kata makan karena dia merasa sangat mual,

Damian
menatap Serena dengan tatapan tegas seperti seorang ayah memarahi anaknya,

"Kau
harus makan", gumamnya tegas, "Tidurlah", lalu lelaki itu
berbalik dan melangkah keluar kamar.

Serena
meringkuk dibalik selimut, obat itu membuatnya nyaman dan mengantuk, sangat
mengantuk.

 

*********

Damian
duduk di tepi ranjang, dan mengamati Serena, panasnya sudah agak turun dan
gadis itu tidur seperti bayi, entah kenapa dan sejak kapan dia merasa kalau
gadis kecil ini menjadi begitu penting baginya. Mungkin karena kedekatan mereka
selama ini, Damian tidak pernah membiarkan orang lain sedekat dengan dirinya.

Tiba-tiba
bunyi getaran disamping ranjang mengejutkan Damian, ponsel kecil itu bergetar
dan Damian mengernyitkan keningnya, ponsel milik Serena? Dia baru pertama
melihatnya, karena Serena tidak pernah menggunakannya di depannya. 

Dan yang
terlintas pertama kali di otak Damian ketika melihat ponsel itu adalah, dia
harus membelikan Serena ponsel yang lebih baik.

Ponsel
itu terus bergetar, rupanya penelpon di seberang sana tidak mau
menyerah, Damian meraih ponsel itu karena tidak mau getarannya mengganggu
Serena yang sedang tertidur lelap.

Suster
Ana? Damian mengernyit membaca nama penelphon di ponsel itu, sebelum mengangkatnya,

"Serena?",
suara diseberang telepon langung menyahut cemas, "maafkan aku karena
menelephone,aku cemas karena kau sudah dua hari tidak kemari dan tidak ada
kabar sama sekali darimu, padahal kau tidak pernah melewatkan satu haripun,
apakah kau baik baik saja?"

Jeda
sejenak, Damian ragu untuk bersuara, tetapi kemudian dia bersuara,

"Maaf,
Serena sedang tidur", ketika Damian bersuara, dia mendengar suara
terkesiap diseberang sana, sepertinya lawan bicaranya sangat terkejut
mendengar dia yang menyahut,

"Oh...maaf....",
suster Ana tampak kehilangan kata-kata.

"Serena
sedang sakit, dua hari ini dia demam tinggi, mungkin besok saya akan
memberitahunya kalau anda menelephone", lanjut Damian tenang dan tanpa
memperkenalkan dirinya, tentu saja dia tidak berniat memperkenalkan dirinya.

"Oh,
baiklah, terimakasih", suara diseberang terdengar sangat gugup, lalu
telepon ditutup dengan begitu cepat sehingga Damian mengernyit. 

Ada yang
aneh, wanita diseberang itu memang kaget mendengar suaranya, tetapi tidak ada
kesan bertanya-tanya mendengar suara Damian yang menjawab telepon. Apakah
wanita diseberang itu mengetahui siapa Damian ? Dan apa yang dimaksud dengan
datang setiap hari dan tidak pernah melewatkan satu haripun? Datang kemana?
Untuk apa?

Pertanyaan-pertanyaan
itu memenuhi kepala Damian dan membuatnya menyadari bahwa dia tidak tahu
apa-apa tentang Serena.

********

Vanessa
sedang duduk di bar bersama dengan Freddy, lalu mengernyit,

"menurutmu
apakah bos kita itu sudah main hati?"

Freddy
menyesap minumannya,

"Apa
maksudmu?"

"Gadis
kecil itu, Serena"

Hening
sejenak dan Freddy menyesap minumannya lagi,

"Menurutku
Damian sudah gila", gumamnya dengan nada tidak setuju, " Dia sudah
bertindak di luar kehati-hatiannya yang biasa menyangkut gadis itu"

Vanesa
menolehkan kepalanya ke Freddy dengan penuh rasa ingin tahu, "sebenarnya
aku sangat penasaran dengan hubungan mereka, menurutku Damian menyimpan
perasaan yang dalam...."

"Ralat,
nafsu yang dalam", sela Freddy, "Damian sudah merasakan nafsu yang
dalam ketika melihat gadis itu pertama kalinya dan menginginkannya. Dan gadis
itu, Serena, dia memanfaatkan itu dengan menjual dirinya kepada Damian",
gumamnya jijik

Vanessa
mengernyit lagi,

"Serena
tidak kelihatan seperti gadis yang sengaja menjual dirinya"

"Dia
menjual dirinya seharga tiga ratus juta. Aku sendiri yang membuatkan kontrak
perjanjian jual beli yang konyol itu, setelah itu Damian masih membelikan
apartemen untuk tempat dia tinggal, dan bahkan berencana melunasi hutang gadis
itu yang hampir 40 juta di perusahaan, aku sudah menasehatinya kalau dia mulai
berlebihan, tapi Damian tidak peduli", gumam Freddy frustasi.

Vanessa
merenung dengan serius, tiga ratus juta? Itu uang yang tidak sedikit untuk
perempuan seumuran Serena. Dan gadis itu juga berhutang 40 juta di perusahaan,
sungguh pengeluaran fantastis untuk gadis dengan penampilan sederhana seperti
Serena,

"Menurutmu
untuk apa uang itu? Kalau untuk bermewah-mewah sepertinya tidak mungkin, gadis
itu tinggal di tempat kost sederhana, pakaian  dan barang-barangnya tidak
ada yang bermerk, dia juga selalu naik kendaraan umum ke kantor", gumam
Vanessa pelan.

Freddy
menoleh dan mengangkat alisnya,

"Untuk
seorang dokter perusahaan, tampaknya kau tahu banyak"

Vanessa
tertawa pelan,

"Tentu
saja, aku banyak berhubungan dengan karyawan kau tahu. Freddy, tampaknya kau
tidak boleh terlalu berprasangka dulu pada Serena", Vanessa berubah
serius, "Damian bukan orang bodoh, dia tidak akan membiarkan dirinya
dimanfaatkan, kecuali dia melakukannya dengan sukarela"

"Dia
mabuk kepayang, lelaki yang mabuk kepayang tidak akan menggunakan akal
sehatnya, dan kalau hal itu mulai keterlaluan, aku sendiri yang akan
memperingatkan Serena", gumam Freddy dengan penuh tekad.

Vanessa
diam saja, memahami betapa dalamnya rasa persahabatan antara Freddy dan Damian,
dan betapa Freddy sangat ingin menjaga sahabatnya itu.

Tetapi
ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu tentang Serena, gadis itu
terasa familiar tetapi Vanessa tidak bisa mengingatnya, kapan? Dimana?

*****

Serena
mulai sembuh, meskipun dia belum bekerja, Damian tidak mengijinkannya.
Laki-laki itu bersikeras bahwa Serena belum boleh bekerja, dan dia
memerintahkan dokter Vanessa menghubungi langsung atasan Serena sehingga tidak
masuknya Serena selama empat hari ini tidak akan menjadi masalah.

Well,
besok dia harus masuk, dia sudah sehat, itu hanya flu biasa dan dengan
perawatan Damian yang sengat intensif disertai dengan obat dari dokter Vanessa
yang sangat manjur, dia sudah merasa cukup kuat hari ini.

Dan
Serena merindukan Rafi, sudah empat hari dia tidak ke rumah sakit, kemarin
tubuhnya masih terlalu lemah, tetapi sekarang dia sudah agak kuat dan tidak
sabar ingin segera melihat Rafi,

Suster
Ana menelephon dan menceritakan perihal Damian yang mengangkat telephonnya pada
waktu Serena tertidur,  sekaligus meminta maaf jika dia sudah hampir
membuka rahasia Serena.

Setelah
itu, Serena bersikap hati-hati kepada Damian, menunggu lelaki itu bertanya
kepadanya. Tetapi Damian besikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Jadi Serena
berpikir Damian tidak menganggap telepon dari suster Ana itu sebagai sesuatu
yang serius.

Serena
sudah berpakaian rapi, saat itu jam lima sore, Damian masih akan pulang jam
sembilan malam, jadi dia masih punya waktu lebih dari cukup untuk menengok
Rafi.

Dengan
riang karena akhirnya bisa berkunjung lagi ke rumah sakit, Serena berjalan dan
membuka pintu keluar apartemennya, hanya untuk berhadapan dengan sosok Damian
yang akan membuka pintu untuk masuk, Damian mengamati Serena yang berpenampilan
rapi,

"Mau
kemana?", tanyanya langsung.

Sejenak
Serena terperangah tak menyangka akan berhadapan dengan Damian, matanya
mengerjap gugup.

"Serena?",
Damian mengulang pertanyaannya dalam matanya.

"Eh
aku...", Serena mengerjap lagi, "aku mau membeli bahan makanan di
supermarket", gumamnya, mengucapkan hal pertama yang terpikir di dalam
benaknya.

Damian
mengernyit,

"Kau
masih sakit, tidak boleh keluar-keluar, kau bisa membeli bahan makanan itu
besok, lagipula aku sudah membawa makanan", Damian menunjukkan kantong
kertas di tangannya dan melangkah masuk lalu menutup pintu apartemen, ketika
dirasakannya Serena masih terpaku dia menoleh dan mengangkat kantong makanan
itu,

"Kau
tidak mau menatanya di piring sementara aku mandi?", tanyanya lembut,

Serena
tergeragap, dan mengangguk, lalu menerima kantong itu dari Damian,

Ketika
Damian melangkah ke kamar dan mandi, Serena menata makanan di dapur dengan
frustasi, kenapa Damian sudah pulang sore-sore begini? kenapa waktunya begitu
tidak tepat?

Serena
menyempatkan diri menghubungi Suster Ana dan menjelaskan perihal batalnya
kunjungannya ke rumah sakit, untunglah suster Ana mengerti lalu menjelaskan
secara singkat kondisi Rafi yang stabil sehingga kemungkinan operasi ginjalnya
bisa dilakukan beberapa hari lagi. Serena merasa sangat lega mendengarnya,
dengan cepat dipanjatkannya doa permohonan untuk Rafi lalu melanjutkan menata
makanan itu.

Semua
masakan yang dibeli Damian tampak hangat dan menggiurkan sehingga mau tak mau
menggugah selera Serena,

"Kau
pasti menyukainya, itu menu andalan dari restaurant favoritku", Damian
masuk kedapur dengan mengenakan pakaian santai, dia sudah bertransformasi dari
pebisinis yang dingin ke lelaki yang lebih mudah didekati.

"Mana
kopiku?", gumamnya disebelah Serena,

Damian
berdiri begitu dekat hingga membuat Serena gugup, dengan ceroboh dia hampir
melompat menjauh dari Damian, membuat lelaki itu mengangkat sebelah alisnya
sambil menatap Serena,

"A....akan
kubuatkan", gumam Serena dengan pipi merah padam.

"Tidak,
nanti saja akan kubuat sendiri, kemarilah aku belum memeriksamu sejak tadi",
Damian merentangkan tanggannya sambil bersandar di meja dapur.

Serena
memandang ragu-ragu ke tangan Damian yang terentang, lalu beralih kemata Damian
yang menyiratkan perintah tanpa kata-kata.

Dengan
ragu dia melangkah mendekat ke arah Damian, lelaki itu langsung merengkuhnya ke
dalam pelukannya,

"Hmmmm
kau harum seperti aroma bayi", gumam Damian tenggelam disela sela rambut
Serena.

Damian
juga harum, pikir Serena dalam hati, aroma sabun dan aftershave, aroma yang
sudah familiar dengannya dan mau tak mau Serena merasa nyaman ada di dalam
pelukan Damian,

Mereka
berdiri sambil berpelukan beberapa lama, tanpa suara tanpa kata-kata,

Ketika
akhirnya Damian mengangkat kepalanya dan menatap Serena, matanya tampak
membara,

"Kau
sudah tidak demam lagi", suaranya terdengar serak, dan Serena mengerti
artinya, Damian sudah terlalu lama menahan diri, lelaki itu tidak menyentuhnya
selama tiga malam, dan mengingat besarnya gairah Damian kepadanya, sepertinya
itu sudah hampir mencapai batas maksimal pengorbanan Damian. Serena sangat
mengerti.

“Iya, aku
sudah tidak demam lagi”, balas Serena lembut.

Damian
mengerang lalu menekankan tubuhnya makin rapat pada tubuh Serena, hingga
kejantanannya yang sudah mengeras menekan Serena membuat pipi Serena memerah.
Dengan lembut Damian mengusap pipi Serena,

Other books

Showdown With Fear by Stephen Wade
A Fatal Appraisal by J. B. Stanley
Top of the Class by Kelly Green
Placebo by Steven James
Brond by Frederic Lindsay
Day of Reckoning by Stephen England
Knights of the Hawk by James Aitcheson