A Romantic Story About Serena (22 page)

BOOK: A Romantic Story About Serena
4.05Mb size Format: txt, pdf, ePub

“Ya, aku
bahagia”, seulas senyum kecil muncul di bibir Serena, membayangkan Rafi.

Damian
mengernyit melihat senyuman itu. Senyuman itu bagaikan pisau yang menusuk
hatinya, senyuman yang diberikan Serena ketika membayangkan lelaki lain, ketika
membayangkan Rafi.

“Bagus”,
gumamnya datar, kemudian menatap Serena lembut, “Mungkin kita harus melakukan
pengaturan kembali dengan perkembangan yang mendadak ini, tetapi aku tidak mau
mengganggumu dulu, kau pasti ingin fokus dulu dengan kondisi Rafi… jadi kupikir
aku akan kembali lagi saja nanti”

“Terimakasih
Damian”, akhirnya Serena bisa berkata-kata, pelan.

Damian
tersenyum miring,

“Aku
meminta maaf, dan kau malah menjawabnya dengan ucapan terimakasih, Serena yang
aneh”, dengan hati-hati Damian mendekat, lalu setelah yakin bahwa Serena tak
akan menjauh, dia merengkuh Serena ke dalam pelukannya,

“Ingat
kata-kataku tadi”, bisiknya lembut, lalu menunduk dan memberikan Serena sebuah
ciuman yang singkat tetapi menggetarkan kepada Serena,

Dan
pergilah Damian, meninggalkan Serena yang masih berdiri terpaku, memegangi
bibirnya yang terasa hangat, bekas ciuman Damian.

*******

"Dia
sadar", Damian menyesap minumannya sambil berdiri terpaku menatap ke
pemandangan dari jendela lantai atas kantornya.

Vanessa,
yang masih bersama Freddy hanya diam terpaku. Damian sudah menceritakan
semuanya kepada mereka tadi, tentang sadarnya Rafi dari komanya. Dan sekarang
lelaki itu hanya terdiam dan mengulang-ulang kata
'dia sadar'
,
dia sadar'
sambil menatap keluar

Vanessa
menarik napas mulai tak sabar, sedangkan Freddy hanya mengetuk-ketukkan
tanggannya di lutut. Damian masih belum menunjukkan tanda-tanda memaafkannya
jadi dia memilih diam dan tidak mengatakan apa-apa.

"Kurasa
karena perkembangan baru yang tidak terduga ini, kau akhirnya memutuskan untuk
melepaskan Serena?"

Pertanyaan
Vanessa itu membuat Damian mendadak memutar tubuhnya dengan tajam menghadap
Vanessa dan menatapnya dengan mata menyala-nyala.

"Dia
belum memilih", gumam Damian setengah menggeram. " Detik terakhir
sebelumnya, dia menerimaku dalam pelukannya, membalas pelukanku dan aku yakin
akan menerima ajakanku untuk pulang bersamaku"

"Sudahlah
Damian, sekarang kan tunangannya yang setia ditungguinya selama dua tahun sudah
sadar, kau tidak bisa......", tanpa sadar Freddy bersuara memberikan
pendapat seperti kebiasaannya sebelumnya. Tapi langsung berhenti mendadak
ketika menerima tatapan tajam penuh permusuhan dari Damian, "Aku....aku
hanya mencoba memaparkan kenyataan di depanmu", suara Freddy hilang
tertelan karena tatapan Damian makin tajam.

Vanessa
menghela napas sekali lagi,

"Damian,
Freddy benar, sadarnya Rafi ini bukankah merupakan tujuan hidup Serena selama
ini ? Biarkan mereka berbahagia Damian, mereka pantas mendapatkannya setelah
tahun-tahun penuh penantian dan ketidakpastian yang menyiksa",

"Tidak!",
Damian tetap bersikeras, "aku tidak bisa menyerah begitu saja dan
membiarkan Serena salah memilih. Dia mencintaiku. Perasaannya pada Rafi mungkin
hanya kasihan"

"Kenapa
kau tidak bisa berpikir kalau perasaannya kepadamulah yang mungkin hanya
perasaan sesaat karena keadaan yang dipaksakan? Kau pernah dengar apa itu
stockholm syndrome
?", sela Vanessa
jengkel.

Damian
tercenung, tentu saja dia tahu apa itu
stockholm
syndrome
, dan menyakitkan kalau menyadari bahwa perasaan Serena kepadanya
mungkin ditumbuhkan oleh situasi keterpaksaan. Dengan gusar diusapnya
rambutnya,

"Aku
akan menanyakan langsung padanya. Nanti. Setelah kondisi tunangannya lebih
baik"

Vanessa
tidak berkata-kata. Dan Freddy hanya diam, tak tahu harus bicara apa lagi.

*********

Dua hari
kemudian, Serena berdiri di depan ruangan perawatan Rafi dengan cemas,
tangannya menggenggam tangan suster ana setengah menangis. Matanya semakin
berkaca-kaca ketika mendengar suara teriakan dari dalam. Teriakan Rafi,

"Suster....",
hati Serena terasa di iris-iris, menyadari bahwa suara pertama yang dikeluarkan
Rafi setelah 2 tahun adalah teriakan kesakitan.

"Tidak
apa-apa Serena, itu pertanda bagus, Rafi memang kesakitan, mereka sedang
melepas selang di tenggorokan dan di dadanya, tetapi kalau Rafi bisa
mengeluarkan suara, itu pertanda kondisinya sudah semakin membaik", suster
Ana menggenggam tangan Serena, membagikan kekuatannya.

Suara
teriakan itu terdengar lagi, begitu serak hingga Serena hampir tak mengenalinya.
Air matanya mulai menetes satu-satu tanpa dapat ditahannya,

"Berapa
lama lagi suster?", menunggu di luar seperti ini terasa bagaikan siksaan
yang paling mengerikan.

"Sebentar
lagi, nanti mereka akan mengizinkanmu menemuinya", dengan lembut suster
Ana mengusap-usap Serena, "dia harus melalui ini Serena, dan nanti akan
banyak kesakitan lagi, tapi ini proses penyembuhan, dia pasti akan sembuh"

Serena
menganggukkan kepalanya, memejamkan matanya, menunggu.

Penantian
itu terasa begitu lama, lama sekali sampai tim dokter dan perawat keluar dan
mengizinkan Serena masuk,

Dengan
hati-hati,Serena melangkah masuk ke ruangan perawatan Rafi. Ruangan yang sangat
akrab, sangat dikenalinya. Tetapi sekarang berbeda, Rafinya tidak tidur.
Rafinya tidak menutup mata, dia bangun, sadar dan hidup. Hati Serena sesak oleh
euforia yang membuncah.

Serena
duduk di sebelah ranjang, dan Rafi langsung menyadari kehadirannya, tangannya
membuka dan dengan lembut Serena menyelipkan jemarinya kesana,

"Hai",
sapa Serena lembut.

Rafi
tersenyum, lalu mengeryit karena gerakan sederhana itu ternyata menyakitinya,

"Sa..kit",
gumamnya susah payah.

Serena
tersenyum lembut, sebelah tangannya mengusap dada Rafi yang kurus, berhati-hati
agar tidak menyentuh luka di dadanya,

"Mereka
sudah melepas selang di tenggorokan dan dadamu",

Rafi
mengeryit lagi,

"Berapa
lama?", suaranya serak dan terpatah-patah,

"Apanya?"

"Tidur...
Berapa lama ?"

Serena
mendesah lembut,

"Dua
tahun", jawabnya pelan. Dan langsung menerima tatapan penuh kesedihan dari
Rafi, "Tapi dua tahun tidak terasa lama kok, yang penting kau bangun, kau
berjuang dan aku bangga padamu", sambung Serena cepat-cepat.

Rafi
tampak sedikit lega mendengar penjelasan Serena, tapi lalu dia mengernyit lagi,

"Mama...
Papa....?"

Serena
menggenggam tangan Rafi erat-erat,

"Mereka
meninggal pada saat kecelakaan itu Rafi"

Dan hati
Serena bagaikan diremas-remas ketika melihat Rafi memejamkan mata dan menangis,
dengan lembut diusapnya air mata Rafi, dikecupnya pipi lelaki itu yang pucat
dan tirus,

"Tapi
aku yakin mereka sudah tenang disana. Mereka pasti bahagia sekarang, mengetahui
kau sudah sadar"

Rafi
membuka matanya dan menatap Serena lembut,

"Maaf"

"Kenapa?",
Serena mengernyit.

"Karena...
Kau... Ditinggal..sendiri..."

Air mata
ikut mengalir di pipi Serena,

"Aku
tidak apa-apa, lihat? Aku sehat dan baik-baik saja. Aku bertahan buat kamu. Dan
sekarang kamu yang harus berjuang buat aku ya, kamu harus berjuang untuk pulih
lagi, bersamaku"

Rafi
mengangguk dan memejamkan mata, percakapan singkat itu membuatnya begitu kelelahan,

Dengan
lembut Serena mengusap rambut Rafi,

"Istirahatlah
sayang, tidurlah, aku akan ada saat kau terlelap, aku akan ada saat kau bangun
lagi"

Dengan
lembut Serena terus mengusap rambut Rafi sampai nafas lelaki itu berubah
teratur dan tertidur pulas.

"Dia
kuat, dia akan baik-baik saja",

Suara
dari arah pintu yang terdengar tiba-tiba itu mengejutkan Serena, dia menoleh
dan mendapati dokter Vanessa sudah berdiri di sana, entah sejak berapa lama.

"Dokter
Vanessa ?"

Vanessa
tersenyum dan melangkah mendekat,

"Yah
kau pasti tidak menduga kedatanganku, aku kesini bersama seseorang",
Vanessa mengedikkan kepalanya ke arah pintu, Serena mengikuti arah pandangan
Vanessa dan wajahnya memucat melihat Freddy berdiri di sana, tidak melangkah
masuk, hanya berdiri di ambang pintu dengan ragu-ragu.

"Dia
datang untuk minta maaf", jelas Vanessa lembut begitu melihat ekspresi
takut Serena, " dia sudah meminta maaf kepada Damian dan Damian
mengusirnya, menyuruhnya meminta maaf padamu karena kaulah yang
dilukainya"

Damian.
Nama itu melintas di benak Serena. Damian dan pernyataan cintanya. Tiba-tiba
dada Serena terasa penuh, tapi lalu dia mengernyit. Tidak, dia harus membunuh
perasaan apapun itu yang muncul untuk Damian. Dia harus fokus kepada Rafi,

"Mungkin
kita bisa berbicara di luar?", Vanessa berucap setengah berbisik, melirik
ke Rafi yang sedang tertidur pulas.

Serena
mengangguk mengikuti dokter Vanessa sampai ke ujung lorong, dengan diam-diam
Freddy mengikuti mereka.

"Maaf",
gumam Freddy ketika mereka sudah ada di lorong yang sepi, dia mengeryit sedikit
ketika melihat bahwa Serena menjaga jarak kepadanya, sedikit berlindung di
belakang Vanessa, terlihat takut kepadanya. Freddy mengusap rambutnya penuh
perasaan bersalah, "aku sendiri tak tahu setan apa yang menghinggapiku
saat itu, aku salah paham dan berbuat fatal... Mungkin aku memang pantas
menerima luka-luka akibat semua pukulan ini....", Freddy mencoba menatap
Serena selembut mungkin, menunjukkan ketulusannya sebesar mungkin agar Serena
yakin, "kumohon jangan takut kepadaku Serena, aku minta maaf, aku
benar-benar menyesal, aku malu"

Kata-kata
itu merasuk ke dalam jiwa Serena, dia menatap lelaki di depannya ini. Dia
memang tidak terlalu akrab dengan pengacara Damian ini, mereka berinteraksi
hanya kalau perlu dan kebanyakan Freddy hanya berinteraksi dengan Damian,
mengabaikannya. Tetapi sekarang lelaki ini terlihat begitu tulus, tulus dan
berantakan, dengan memar di mana-mana, meskipun tidak mengurangi ketampanannya.

Serena
mencoba mengannguk dan memunculkan senyum kecil meskipun dia masih menjaga
jarak,

"Iya",
jawabnya pelan.

Freddy
menatap Serena dalam-dalam, mencari kepastian di sana, dan yang dilihat di mata
Serena adalah ketulusan,

"Aku
dimaafkan?", tanyanya pelan.

Serena
akhirnya tersenyum lepas,

"Iya"

Dengan
lembut Freddy membalas senyuman Serena,

"Sekarang
aku tahu kenapa hati Damian yang keras itu bisa melumer menjadi begitu
lembut", gumamnya pelan, membuat pipi Serena merona.

Dengan
lega Vanessa menarik napas panjang,

"Kalau
begini masalah sudah selesai", Vanessa menoleh ke arah Freddy, "nah
Freddy bisakah kau ke tempat lain dulu? Aku ingin berbicara berdua dengan
Serena, percakapan dokter dengan keluarga pasien, kau tahu"

Freddy
meringis dengan pengusiran itu, lalu mengangguk,

"Oke,
telpon aku kalau kalian sudah selesai", gumamnya dan membalikkan tubuh
melangkah pergi setengah diseret mengingat kondisinya yang babak belur setelah
dihajar habis-habisan.

Mereka
berdua menatap kepergian Freddy dan Vanessa tersenyum,

"Dia
sangat menyesal kau tahu"

Serena
mengangguk,

"Saya
mengerti", lalu Serena menatap Vanessa dengan penuh ingin tahu,
"Dokter ingin berbicara tentang apa kepada saya?", kecemasan tampak
terdengar dari suara Serena, apakah terjadi sesuatu dengan Rafi?

Vanessa
tersenyum mencoba menenangkan Serena,

"Tenang
saja, Rafi akan baik-baik saja. Aku sudah berbicara dengan dokter yang
menangani Rafi, dia bilang Rafi bisa kembali pulih meski proses pemulihannya
bisa berlangsung lama", dengan lembut Vanessa menggenggam tangan Serena,
"Serena apakah dokter sudah memberitahukan kepadamu tentang
kemungkinan.... Kemungkinan bahwa Rafi bisa lumpuh selamanya?"

Serena
mengangguk, tidak tampak terkejut,

"Pada
saat Rafi jatuh komapun, dokter sudah memberitahukan kemungkinan itu kepada
saya, dokter bilang kalau meskipun nanti Rafi sadar, dia bisa lumpuh
selamanya"

"Tapi
kemungkinannya tidak seratus persen, masih ada harapan dua puluh persen bahwa
Rafi bisa berjalan lagi kalau dia ada di tangan yang tepat....."

"Maksud
dokter ?", Serena mengernyitkan keningnya,

"Maksudku,
aku merekomendasikan diriku untuk merawat Rafi, kau tahu aku sedang mendalami
spesialisasi pemulihan tulang dan saraf, jadi aku bisa merawat Rafi dengan
baik..... Nanti ketika dia sudah boleh keluar dari rumah sakit, Rafi harus
terus menjalani terapi dengan begitu masih ada kemungkinan dia bisa berjalan
lagi"

"Apakah....
Apakah dokter diminta Damian melakukannya?", Serena menatap dokter Vanessa
sedikit curiga. Kebaikan hati perempuan cantik di depannya ini tampak diluar
dugaan, apakah Damian memaksa dokter Vanessa menawarkan ini kepadanya?

Other books

Hush by Cherry Adair
The Final Nightmare by Rodman Philbrick
Me and My Manny by MacAfee, M.A.
The Dickens with Love by Josh Lanyon
The Red Abbey Chronicles by Maria Turtschaninoff
Wild Heart by Jaci J
Hometown Promise by Merrillee Whren