A Romantic Story About Serena (29 page)

BOOK: A Romantic Story About Serena
6.09Mb size Format: txt, pdf, ePub

Air mata mengalir
deras makin tak terbendung di mata Serena. Hatinya penuh sesak, campur aduk
antara penyesalan dan kelegaan luar biasa, akhirnya dengan pelan Serena duduk
lalu memeluk Rafi erat-erat. Berbagi tangis bersamanya,

"Terimakasih
Rafi, aku mencintaimu", isak Serena pelan.

"Aku
juga mencintaimu", suara Rafi bergetar oleh air mata yang mulai datang.

**********

Semua
berlangsung begitu cepat, dokter dan perawat serta Vanessa hilir mudik di
ruangan itu untuk memeriksa keadaannya. Serena merasa sudah baikan, hanya
sedikit mual dan demamnya sudah turun, tapi entah kenapa Vanessa bersikeras
agar dia tetap di rawat inap di rumah sakit ini. Sebenarnya dia sakit apa?
Serena mulai bertanya-tanya.

Rafi
sudah berpamitan tadi, diantar oleh dokter Vanessa, mengatakan akan
mempersiapkan kepergian mereka ke Jerman, kemungkinan dua minggu lagi. Dan saat
Serena sendirian, pikirannya melayang. Dimana Damian? Apakah dia di rawat di
rumah sakit ini? Bagaimana kondisinya? Kenapa Damian tidak menemuinya ?
Pemikiran-pemikiran itu membuatnya terlelap lagi.

Ketika
bangun hari sudah sore, suasana kamar tampak remang-remang karena lagi-lagi
hujan turun di luar membuat langit kelihatan gelap, Serena menatap hujan di
jendela dan mendesah.

"Sudah
enakan?", suara itu terdengar lembut dan tiba-tiba sehingga Serena
terlonjak kaget, dia menoleh dan mendapati Damian duduk di ranjang, di
sampingnya. Lelaki itu begitu diam, Serena mengernyit, pantas dia tidak
menyadari kehadirannya.

"Maaf
aku mengagetkanmu", Damian tersenyum samar, lalu menyentuh dahi Serena,
"sudah tidak panas lagi. Syukurlah. Kau masih memuntahkan makananmu?"

Serena
menggelengkan kepalanya, masih belum mampu berkata-kata,

"Aku...
Aku sudah bisa menelan sup panas dari rumah sakit tadi",

Damian
mengangguk dan tersenyum,

"Aku
sudah berbicara dengan Rafi, Serena", Damian segera berseru ketika melihat
Serena akan menyela kata-katanya, "apapun yang akan kau katakan, aku tidak
akan pernah melepaskanmu. Aku sudah mendapat kesempatan ini jadi tidak akan
kusia-siakan, kau tidak akan dan tidak boleh menolakku atau melepaskan diri
dariku", suara Damian tegas dan penuh ancaman, matanya menyala-nyala

Dalam
hati Serena merasa geli, ini Damiannya yang biasa. Tidak berubah meski
mencintainya, tetap saja arogan dan terbiasa mengungkapkan keinginannya dengan
mengancam. Tapi bagaimanapun juga ini Damian yang sama yang dicintainya.

"Ya
Damian", jawabnya dalam senyum.

Jawaban
sederhana itu membuat Damian yang begitu tegang karena antisipasi penolakan
yang mungkin dilakukan Serena, terpana,

"Apa?",
Damian bertanya seperti orang bodoh.

Serena
tersenyum lembut, otomatis tangannya bergerak menyentuh dahi Damian yang
berkerut bingung, mengelusnya lembut, menghilangkan kerut yang ada di sana,

"Ya
Damian, aku tidak akan melepaskan diri darimu"

Damian
seolah kesulitan mencerna jawaban sederhana Serena, tetapi ketika dia bisa
memahaminya, seketika itu juga Damian merengkuh Serena, memeluknya erat-erat,

"Demi
Tuhan... Aku sepertinya masih butuh berkali-kali diyakinkan olehmu",
bisiknya serak di rambut Serena, "Kau selalu membuatku bertanya-tanya,
dengan mata lebarmu yang selalu tersenyum, dengan kelembutanmu, kau selalu
membuatku bertanya-tanya apakah kau mencintaiku",

Serena
membalas pelukan Damian dengan lembut,

"Aku
mencintaimu",

"Katakan
lagi", Damian mengerang, memejamkan matanya, mengetatkan pelukannya,
"aku butuh diyakinkan"

"Aku
mencintaimu", ulang Serena patuh.

Damian
melepaskan pelukannya lalu mengusap rambut Serena lembut, kemudian meraih
tangannya, mengernyit ketika melihat Serena masih memakai cincin dari Rafi,
bersebelahan dengan cincin darinya,

Dengan
lembut disentuhnya tangan Serena, disentuhnya cincin Rafi disana.

"Boleh
aku melepaskannya?"

Damian
tetap akan melepaskannya meskipun Serena menggeleng, Serena tahu itu. Tapi
Serena menghargai Damian yang menyempatkan diri bertanya kepadanya.

Dengan
lembut ia mengangguk.

Hati-hati
Damian melepaskan cincin pertunangan Serena dengan Rafi, lalu meletakkannya di
meja. Setelah itu dikecupnya jemari Serena yang memakai cincin pemberiannya,

"Aku
ingin kau menikah denganku, segera"

Sekali
lagi Serena tersenyum, lamaran khas ala Damian. Bukannya bertanya "maukah
kau menikah denganku?", lelaki ini malah menyatakan keinginannya dengan
arogansi yang tak terbantahkan. Tiba-tiba Serena mengerutkan keningnya mencerna
kalimat Damian,

"Kenapa
harus segera ?"

Dan entah
kenapa pertanyaannya itu membuat pipi Damian memerah. Serena jadi
bertanya-tanya apa yang salah dengan pertanyaannya.

"Kau...
Eh, mungkin kau tidak menyadari perubahan tubuhmu....", Damian tampak
kesulitan menyusun kata-kata. Tapi pada akhirnya dia melemparkan kebenaran itu,
"Kau... Sedang mengandung anakku"

Kata-kata
itu membuat Serena ternganga, itu adalah kebenaran yang sama sekali tidak
disangka-sangkanya. Damian sangat hati-hati kalau bercinta dengannya. Bahkan
dalam kondisi berhasratpun dia selalu ingat untuk memakai pelindung, jadi
Serena tak mungkin hamil. Karena itulah meskipun tubuh Serena menunjukkan
gejala seperti perempuan hamil, tidak datang bulan, mual, kram di perut dan
sebagainya, tidak pernah sedikitpun terlintas di benaknya kalau dia sedang
mengandung.

Kemudian
kesadaran itu melintas di benaknya, Serena tidak mungkin mengandung, kecuali
kalau Damian menginginkannya, Serena tidak mungkin mengandung, kecuali kalau
Damian sengaja....

"Kau
selalu menggunakan pelindung", gumam Serena menatap Damian dengan waspada,
"Malam itu kau tidak memakainya"

Pipi
Damian agak memerah tapi dia menatap mata Serena tanpa penyesalan,

"Aku
memang sengaja, semua yang terjadi malam itu memang sudah kurencanakan",
dengan angkuh Damian mengangkat dagunya, "aku ingin kau memilihku"

Pipi
Serena memucat sedikit marah,

"Kau
berencana menjebakku dengan kehamilan?"

Damian
menggenggam tangan Serena erat-erat memejamkan matanya penuh kepedihan.

"Aku
memang brengsek dan licik, tapi itu semua kulakukan karena aku hampir gila
putus asa ingin memilikimu, aku mencintaimu dan menderita karenanya, aku
bersedia minta maaf kalau kau menginginkannya, tapi aku tidak pernah menyesal
sudah membuatmu hamil..."

Kata-kata
itu, yang diungkapkan dengan sepenuh hari, melelehkan kemarahan Serena, dengan
lembut diraihnya kepala Damian dan dipeluknya. Lama mereka berpelukan dalam
diam,

"Karena
itu kau mencium perutku", gumam Serena, teringat keanehan perilaku Damian
saat itu.

"Ya",
Damian tersenyum bangga, "saat itu aku yakin dia sedang terbentuk, aku
memerintahkannya supaya tumbuh sehat agar aku bisa memiliki ibunya",
Damian mengangkat bahu, "aku konyol sekali ya"

Serena
tertawa mendengarnya, sisi santai Damian yang jarang diperlihatkannya ini juga
sudah membuatnya jatuh cinta. Ya, dia benar-benar mencintai lelaki ini, dengan
segala arogansinya, dengan segala kekeras kepalaannya, sekaligus dengan segala
kasih sayangnya yang Serena tahu, melimpah untuknya.

Dengan
lembut Serena mengelus perutnya, menyadari bahwa buah cinta mereka sedang
bertumbuh di perutnya, semakin lama semakin kuat, hingga akhirnya nanti akan
terlahir ke dunia.

Mata
Damian mengikuti gerakan Serena. Lalu tangannya mengikuti Serena, mengusap
perutnya lembut,

"Dia
kuat dan baik-baik saja di sana", gumam Damian setengah berbisik

"Ya",
Serena berbisik juga

"Mungkin
nanti dia akan mulai menendang-nendang", dahi Damian berkerut, mengingat
isi buku-buku referensi kehamilan yang mulai dibacanya.

Serena,
mengangguk, tersenyum simpul,

"Pasti,
seperti pemain sepakbola"

"Aku
lebih suka dia seperti CEO handal", dahi Damian tetap berkerut,

Serena
terkekeh,

"Ya,
seperti CEO handal", suara Serena berubah seperti bisikan, "Seperti
ayahnya"

Mereka
bertatapan, mata Serena berkaca-kaca, mata Damian berkilauan penuh perasaan.
Diantara tatapan mereka terjalin setiap impian orang tua tentang anaknya di
masa depan.

Lalu
Damian mengecup dahi Serena,

"Terimakasih
sudah hadir di hidupku", bisiknya serak penuh perasaan,"Terimakasih
sudah mengajari aku mencintai dengan begitu dalam, terimakasih sudah menyentuh
hatiku yang gelap dan jahat sehingga bisa merasakan indahnya mencintai
seseorang, dan yang terpenting
 
terimakasih sudah mau mencintaiku",  lalu dia meraih dagu
Serena dan mengecup bibirnya lembut, kecupan penuh kasih sayang yang dengan
segera berubah menjadi panas dan bergairah.

Lama
kemudian Damian baru mengangkat kepalanya, meninggalkan bibir Serena yang panas
dan basah, matanya berkilat-kilat penuh gairah, tetapi dia menahan diri dan
mencoba tersenyum, mengusap rambut Serena dengan lembut,

"Nanti,
setelah kau sehat", janjinya penuh arti, membuat pipi Serena memerah, lalu
memeluk Serena lagi, "Aku mencintaimu Serena, dan aku berjanji akan
membuatmu serta anak-anak kita nanti bahagia, kau boleh pegang janjiku
itu"

Serena
tersenyum mendengar tekad kuat dalam suara Damian,

"Aku
tahu Damian, aku juga mencintaimu"

Mereka
tetap berpelukan, dipenuhi perasaan cinta yang hangat. Hanya ada mereka berdua
dan kebersamaan mereka, Serena dengan Damiannya yang akhirnya menyerahkan hatinya
untuk termiliki satu sama lain. Yang pada akhirnya
bisa
saling memiliki satu sama lain

THE END

 

 

Sinopsis

Dalam
hidupnya, Impian Serena hanyalah ingin menjadi perempuan yang biasa-biasa saja.
Dia ingin menikah dengan Rafi kekasihnya, membentuk keluarga kecil yang
bahagia, lalu seperti akhir kisah klise lainnya : bergandengan tangan di usia
senja, melangkah menuju matahari terbenam.

Tetapi
ternyata apa yang dia inginkan meskipun sederhana, tidak semudah itu menjadi
kenyataan. Kecelakaan itu telah merenggut semua yang diimpikannya, orang
tuanya, merenggut rencana pernikahannya dengan Rafi yang kemudian tak berdaya
dan membuatnya harus berjuang sendirian, dan menghancurkan semua mimpi-mimpinya
yang sebelumnya terbungkus dalam rencana masa depan yang telah tersusun rapi.
Semuanya hancur.

Dalam
perjuangannya untuk bangkit itulah dia harus berhubungan dengan Damian, seorang
taipan kaya yang sombong, arogan, suka memaksakan kehendak, dan ….

Punya
obsesi seksual terpendam terhadap dirinya. Serena membutuhkan Damian lebih demi
menyelamatkan Rafi, sedangkan Damian membutuhkan Serena untuk memuaskan hasrat
obsesif yang terus menerus menyiksanya terhadap Serena.

Dua
manusia yang seharusnya tidak pernah bersilang jalan inipun dipertemukan oleh
keadaan. Dua manusia yang saling membenci satu sama lain tetapi dikalahkan oleh
hasrat dan kebutuhan. Hubungan mereka panas membara, luar biasa sampai mereka
bias terbakar habis di dalamnya.
 
Mereka
menjalin hubungan karena keterpaksaan, yang lama kelamaan menjadi hubungan saling
membutuhkan, saling merindukan dan saling memuaskan dan….. akhirnya menyerah
untuk saling mencintai.

Sampai
kemudian tiba saatnya Serena harus memilih antara Hasratnya pada Damian, lelaki
arogan yang terus menerus menyakitinya tetapi berhasil merenggut hatinya, atau
Cintanya kepada Rafi, lelaki yang baik, yang pernah meninggalkannya untuk
berjuang sendirian, tetapi tetap menjaga janjinya dalam sebentuk cincin
pertunangan di jari manisnya

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

TENTANG PENULIS:

Santhy
Agatha sang penulis, adalah perempuan biasa-biasa saja. Seorang isteri
merangkap seorang wanita karier yang mencuri waktu untuk menuliskan rangkaian
kata-kata yang terpendam di otaknya, di sela-sela kesibukannya setiap hari.
Santhy Agatha mengkhususkan genre novelnya pada genre romantic karena tak
habis-habisnya dia mengagumi, begitu banyak kisah indah yang bisa dimunculkan
dari dua manusia yang saling mencintai.

Novel “A Romantic Story About Serena”
itu adalah salah satu novelnya yang dibuat dengan kurun penulisan yang paling
lama, empat bab pertamanya dibuat pada tahun 2007 sampai dengan 2008, kemudian
pada tahun 2009 vakum, Untuk bab-bab selanjutnya sampai selesai diselesaikannya
di tahun 2011. Kemudian di tahun 2012 di publishkan secara online pertama kali
pada blog
portalnovel.blogspot.com
dalam bentuk
postingan bersambung setiap bab,
 
dan
memperoleh sambutan yang luar biasa.

Other books

Unfinished Portrait by Anthea Fraser
A Garden of Vipers by Jack Kerley
Torres by Luca Caioli
The Squad by T. Ryle Dwyer
Calling Home by Michael Cadnum
Bound and Determined by Sierra Cartwright